Sunday, January 1, 2012

The Eight-thousand-gold Bounty

NaNoWriMo attempt November 2011 kemarin. Ditulis dalam waktu semalam, minim editing, dan tanpa perencanaan plot. Err, jadi maklumi aja kalau ceritanya nggak jelas^^

Word count: 1875 words.
* * *

Suasana town square Kota Convery pada siang itu begitu ramai. Terdapat kerumuman orang yang bergerombol membentuk lingkaran; perhatian mereka semua tertuju pada seorang perempuan yang berdiri di tengah-tengahnya.
Gambar untuk pemanis. Anggap saja mobil dan kastil gedenya nggak ada.
Orang itu berusia awal dua puluhan. Dia cukup tinggi untuk ukuran seorang perempuan—sekitar lima setengah kaki. Berambut pirang, dipotong pendek, dan awut-awutan nyaris seperti tidak disisir. Wajahnya cantik, tetapi terkesan jutek dan licik. Kedua bola matanya tampak eksentrik—berbeda warna dengan sebelah kiri sebiru lautan dan kanan semerah darah. Dia mengenakan baju tanpa lengan dan memperlihatkan pinggang, yang dipadukan dengan rok pendek ketat, lalu dilapisi dengan trench coat coklat tanpa kancing. Pada bagian belakang roknya, terdapat sepasang pisau yang menjadi senjatanya. Sepatu boots melindungi kakinya sampai batas bawah dengkul.

“Semira Ulysses! Serahkan dirimu secara baik-baik ke pemerintah Griffith!”

Semira Ulysses menghela napas. Kena kutukan apa dia hari ini—mengalami kesialan yang datang silih-berganti.

Pertama; penghuni kamar sebelah di penginapan tempatnya bermalam menghabiskan seluruh stok air, sehingga dia tidak bisa mandi. Kedua; satu-satunya pemandian umum di kota ini sedang dipugar. Tidak seperti orang lain yang tahan tidak mandi selama berhari-hari; bagi Semira, mandi setiap hari adalah wajib hukumnya, karena dia tidak tahan dengan yang namanya panas. Terlebih saat Kerajaan Griffith memasuki pertengahan Musim Panas. “Ini neraka dunia!” begitulah kutipan favorit perempuan itu selama sebulan ini.

Dan kesialannya yang ketiga; bak cerita di novel-novel, bisa-bisanya dia kebetulan bertemu dengan pemburu hadiah musuh bebuyutannya di tengah jalan. Alhasil, si pemburu hadiah itu berteriak-teriak dengan norak, “Semira Ulysses si kepala berhadiah delapan ribu keping emas! Aku bakal jadi orang kaya!”, memancing semua orang yang berlalu-lalang di pusat kota untuk menangkap dirinya. Masih mending kalau yang mengejar-ngejar dirinya adalah orang-orang yang agak berkelas seperti pasukan keamanan kota atau pemburu hadiah. Ibu-ibu penjual sayur dan bocah-bocah pun turut meramaikan pengejaran! Mau dikemanakan mukanya kalau sampai tertangkap oleh ibu-ibu berbadan buncit itu? Padahal selama ini dia sudah berhasil lolos dari utusan Persekutuan Alkemis, pemburu hadiah berpengalaman, bahkan kapten pasukan militer Kesultanan Guirass.

Namun pengejaran itu sudah berlalu, sebab saat ini dia sudah dikepung oleh puluhan orang yang begitu bernafsu mendapatkan hadiah delapan ribu keping emas. Para pasukan keamanan menyiagakan pedang, tombak, dan busur mereka. Si pemburu hadiah sok bergaya dengan senapan flintlock inovasi terbaru dari Kekaisaran Cretia. Sementara para penghuni pasar? Senjatanya tidak jauh-jauh dari pisau dapur, golok untuk menjagal hewan ternak, dan kerikil hasil memungut di jalan.


Bodohnya Vayne Eisenburg—ya, itulah nama si pemburu hadiah sumber dari semua masalah ini—dan para penghuni pasar itu. Meski mereka turut andil dalam penangkapan Semira Ulysses, tetap saja uangnya akan jatuh ke tangan orang-orang dari pasukan keamanan. Dan mereka tidak punya hak untuk protes. Bagaimanapun juga, kedudukan pasukan keamanan memang lebih tinggi derajatnya ketimbang ‘rakyat jelata’ seperti mereka.

“Semira Ulysses!!” hardik pria paruh baya yang sepertinya adalah ketua dari rombongan pasukan keamanan yang mengejarnya.

Semira mengangkat kedua tangannya sebagai tanda bahwa dia tidak akan melawan. Namun apakah dia akan menyerahkan dirinya ke tiang gantung begitu saja? Tidak ada dalam rumus seorang Semira Ulysses.

Perempuan berambut pirang itu menimbang-nimbang apa yang harus dilakukannya untuk meloloskan diri. Melempar pisaunya untuk melumpuhkan si ketua pasukan keamanan? Mungkin dapat membuat para anak buahnya kelabakan, tapi tidak berpengaruh pada si Vayne dan penghuni-penghuni pasar.

“Hei, aku pasti akan dapat bagian, ‘kan?” tanya Vayne kepada si ketua pasukan keamanan. Dan para penghuni pasar pun turut menanyakan hal serupa.

“Tentu saja! Kami takkan melupakan jasa orang yang sudah membantu kami,” balas si ketua dengan senyum yang dibuat-buat. Semira bisa melihat pria itu merengut saat Vayne dan yang lainnya mengalihkan padangan ke arah lain. Sudah bisa ditebak; tipe yang gelap mata kalau sudah menyangkut uang.

Semira menarik napas dalam-dalam. Dia hanya memiliki satu kesempatan untuk meloloskan diri. Dan satu kelalaian saja akan langsung mengacaukan segalanya. “Hei, katanya mau menangkapku? Kenapa dari tadi bengong saja?” tanyanya. “Kukira kalian prajurit terlatih dan pemberani. Tapi ternyata nyali kalian sebegitu gampangnya ciut, padahal hanya menghadapi seorang perempuan… Menyedihkan sekali.”

Merasa harga diri pasukan keamanan Kota Convery diinjak-injak, si ketua pun langsung memerintahkan beberapa anak buahnya maju untuk meringkus Semira.

Tujuh langkah, lima, tiga…

Saat salah satu anggota pasukan keamanan hendak menyentuh Semira, gadis itu langsung memelintir tangan orang itu dan memitingnya. Dia mengambil batu elemen angin dari kantong trench coatnya, lalu meremasnya. Batu itu menghilang, digantikan dengan cahaya berwarna hijau transparan—dan tiba-tiba saja, semilir angin yang tenang tergantikan dengan angin ribut. Semira mengeluarkan peralatan lain dari trench coatnya; sebuah google yang dengan cepat dipasangkannya untuk melindungi matanya dari debu yang berterbangan akibat sapuan angin.

Semua orang yang ada di sana—kecuali Semira—terbatuk-batuk dan mengucek mata mereka yang kelilipan debu. Sementara para musuhnya sedang panik, si buronan pun langsung angkat kaki dari sana. Meski dari belakang, dia dapat mendengar si ketua pasukan keamanan memerintahkan anak-anak buahnya untuk mengejar.

Langkah Semira mendadak terhenti ketika jalannya dihadang oleh enam penghuni pasar yang membawa-bawa golok, sementara di belakangnya ada pasukan keamanan yang dalam sekejap akan bergabung dalam penangkapan.

“Kalian benar-benar keras kepala, ya…” ucap Semira, melemparkan tatapan mencemooh. “Tapi sayang, kemampuan kalian masih terlalu cetek untuk bisa menangkapku,” dia mengakhiri kalimatnya sembari berjongkok dan menyentuh tanah dengan tangannya yang dilapisi sarung tangan.

Daratan di sekitar Semira berguncang. Dalam sekejap, tanah pecah menjadi ratusan batu sebesar kepalan tangan dan berterbangan menghantam para pengejar. Iringan koor teriakan kesakitan pun berkumandang dari mulut para pria tersebut.

“Benar kata ayah. Harusnya aku tidak usah repot-repot menjemputmu kemari!”

Semira mendongakkan kepalanya dan mendapati sesosok laki-laki yang melayang dengan santai. Dia terlihat seperti manusia remaja biasa; kalau saja kulitnya tidak berwarna ungu gelap, memiliki sepasang sayap hitam menyerupai kelelawar, serta tanduk kecil yang mencuat dari sisi kiri dan kanan keningnya. Lelaki itu mengenakan rompi tanpa kancing yang terbuat dari bulu beruang dan celana sedengkul. Dia adalah Sieg Alysworth, laki-laki separuh manusia separuh iblis yang menjadi salah satu teman seperjalannya selama beberapa minggu ini.

Para anggota pasukan keamanan dan penghuni pasar merangkak mundur begitu melihat kehadiran Sieg. Wajar saja; mengingat kekuatan dan kecepatan bangsa iblis jauh lebih unggul bila dibandingkan manusia. Bahkan orang-orang yang tidak begitu berpendidikan seperti pedagang pasar pun tahu betul bahwa mereka bukanlah tandingan bangsa itu.

Dan sementara para korban timpukan itu tercengang melihat sosok Sieg yang eksentrik; Vayne, ketua pasukan keamanan, serta para penghuni pasar yang lain akhirnya berhasil menyusul—meski beberapa diantara mereka masih sibuk mengucek-ngucek matanya.

“Ternyata kau tidak hanya culas! Bahkan sekarang kau bersekutu dengan bangsa iblis!” seru Vayne. Meski mengatakan kalimat itu dengan intonasi keras, dia mengeker flintlock-nya dengan tangan gemetaran.

Sieg masih memfokuskan perhatiannya kepada Semira dan menghiraukan repetan Vayne. “Dua puluh piring steak tiap kali kita mampir ke kota; untuk jasa kabur lewat jalur udara,” dia menyengir, memperlihatkan kedua gigi taringnya yang pajang dan tajam.

Semira menunjukkan ekspresi yang seakan berkata ‘dasar iblis rakus’. Namun dia kemudian mengucapkan, ”Tapi bukan ongkos yang mahal. Lagipula aku sedang malas jalan kaki.”

Sieg menyeringai, menyambar kerah trench coat Semira, lalu terbang meninggalkan para pengincar uang hadiah yang meneriakkan sumpah serapah. Namun bukan hanya mereka saja yang menggerutu….

“Bocah keparat!! Ini yang kau sebut dengan jasa kabur lewat jalur udara?!” umpat Semira.

Sieg memegang kerah belakang trench coat Semira yang dia pegang dengan satu tangan. Posisi berbahaya, sebab kalau dia melonggarkan pegangannya sedikit saja, si perempuan buronan itu akan terjun bebas ke darat.

“Pegang yang kuat! Kalau tidak—”

“Kalau kau jatuh, aku justru untung,” potong Sieg. “Aku bisa langsung memungutmu, lalu membawamu ke tempat manusia-manusia yang memburumu. Dengan uang sebanyak itu, entah berapa piring steak yang bisa kubeli, ya…?” dia bersiul-siul riang sambil membayangkan timbunan daging setinggi gunung, sementara Semira sudah was-was dan merogoh kantong trench coat-nya untuk mencari batu elemen yang sekiranya dapat dia gunakan kalau-kalau Sieg memang setega itu. Namun sejurus kemudian, si iblis separuh manusia itu menghela napas. “Tapi aku bisa didamprat ayah kalau mencelakai anak dari orang yang pernah menolongnya… Aah, moralitas ala manusia memang merepotkan betul.”

Walau terdengar tidak ikhlas, setidaknya kata-kata Sieg barusan sudah menjadi jaminan kalau dia takkan melepaskan pegangannya. Merasa sudah aman, Semira pun memperhatikan pemandangan di bawah.

Mereka sudah terbang di atas kawasan pinggiran Kota Convery. Hal yang bisa dilihat oleh gadis itu hanyalah rumah-rumah kecil yang letaknya tidak beraturan, ibu-ibu rumah tangga yang sedang menjemur baju di halaman samping rumah, dan anak-anak yang sedang bermain kejar-kejaran sambil mengayunkan pedang-pedangan dari kayu.

Dia lalu menatap lurus ke depan, mendapati garis cakrawala yang terlihat hampir menyatu dengan hamparan padang rumput luas. Matahari musim panas bersinar begitu cemerlang, sehingga Semira harus melindungi matanya dengan punggung tangan karena saking silaunya. Bau rumput serta semilir angin sepoi-sepoi yang membelai wajahnya, entah kenapa membuat hati perempuan itu menjadi tenang. Pemandangan yang setimpal, setelah hari ini diterpa kesialan demi kesialan. Dan ini baru pertama kalinya pula dia dibawa terbang, lantaran transportasi udara hanya bisa dinikmati oleh kalangan keluarga kerajaan atau juragan-juragan yang tidak tahu uangnya mau dikemanakan.

Semakin menjauh dari kota, tampak remaja-remaja tanggung yang sedang menggembalakan domba—sepertinya milik peternakan orangtua mereka—atau membiarkan kuda berkeliaran dan menyantap rumput. Beberapa dari mereka menyadari Sieg dan Semira yang melintas di atas kepala mereka. Dan dengan bodohnya, mereka menunjuk-nunjuk Sieg sambil berteriak, “Iblis itu menculik manusia! Jangan-jangan perempuan itu mau dia jadikan makan siang!!”

“Enak saja! Aku tidak suka daging manusia yang alot dan rasanya aneh itu!” balas Sieg sembari terbang melewati para remaja penggembala.

Hati Semira langsung mencelos saat Sieg menjabarkan tentang tekstur serta rasa daging manusia—mengindikasikan bahwa lelaki itu setidaknya pernah memakan daging dari bangsa yang darahnya turut mengalir dalam dirinya tersebut. Dan itu bisa dibilang kanibalisme. Semira memang pernah membunuh sesama manusia—yang dia tidak ingat berapa karena malas menghitung—tapi kalau sampai memakannya… itu bahkan di luar imajinasi terliarnya. Sepertinya kali ini Semira berurusan dengan bangsa yang salah….

Di lain pihak, Sieg sendiri sebenarnya tidak pernah memakan daging manusia. Dia hanya pernah mendengar ceritanya dari iblis penghuni goa sebelah.

Sesaat kemudian, tidak begitu jauh dari tempat penggembalaan domba, mereka bisa melihat sosok yang tampak begitu mencolok di tengah lautan hijau. Sesosok pria paruh baya yang sedang berbaring santai sambil menenggak sebotol minuman keras.

“Hei! Saking lamanya, kukira kalian tertangkap pasukan keamanan!” sapa Rhett Alysworth begitu Sieg dan Semira mendarat. Tubuhnya tinggi dan besar—walau tidak sampai berlebihan seperti bangsa raksasa, berkulit putih kemerahan, rambutnya yang berwarna merah dan panjang sebahu diikat di belakang leher, beralis tebal, dan daerah sekitar dagunya ditumbuhi kumis tanggung. Dia memakai kaos tanpa lengan, berlapis trench coat tanpa kancing berwarna biru nyaris hitam yang hanya disampirkan ke pundak, celana panjang, dan… sandal jepit jerami.

Not in a million years,” sahut Semira sambil merapikan kerah trench coat-nya yang berantakan akibat cengkeraman tangan Sieg.

Rhett terkekeh. “Yaa, sebagai gurumu, aku juga bakal mendapat malu kalau kau sampai tertangkap oleh pasukan keamanan dan orang-orang tidak jelas itu.”

“Ayah… Karena aku sudah menjemput Sammy, janji ya, antar aku ke Barudras untuk ikut turnamen!” seru Sieg.

“Ya, ya… Terserah kau sajalah,” balas Rhett dengan ala kadarnya.

Sieg menyengir. Kalau sedang senang, iblis separuh manusia itu tampak polos seperti anak kecil yang baru mendapat mainan baru.

“Tapi tidak sebelum kita menjual relik Kerajaan Nowend ke si Duke Archibald,” sergah Semira. Dia memandang Sieg dan Rhett bergantian. “Ngomong-ngomong kalian membawanya, ‘kan?”

Ayah dan anak itu diam seribu bahasa. Sampai akhirnya Rhett membuka mulut, “Sepertinya tertinggal di penginapan waktu aku buru-buru kabur dari penginapan….”

Semira nyaris tidak mempercayai apa yang baru dia dengar.

“DASAR TOLOL!!”

No comments:

Post a Comment