Thursday, October 13, 2011

The Black Magician Trilogy #1: The Magician's Guild

The Black Magician Trilogy: The Magician’s Guild
Pengarang: Trudi Canavan
Penerjemah: Maria M. Lubis
Penerbit: Mizan Fantasi
Tahun Terbit: 2008
Jumlah halaman: 618

Emang novel lama, sih tapi... Bagi saya The Magician's Guild adalah salah satu novel bersejarah dan berperan cukup besar dalam gaya penulisan saya saat ini, jadi rasanya nggak afdol kalau saya nggak nge-review novel ini. Well, langsung aja menuju reviewnya~

Menurut saya sinopsis yang ada di cover belakang buku udah cukup menggugah rasa penasaran dan mewakili inti cerita novel ini, jadi langsung saya copy-paste saja tanpa membuat sinopsis versi sendiri (padahal emang males bikin).
Sonea menatap kedua tangannya. Berhasil.
Aku merusak perisai pertahanan mereka, tetapi itu mustahil, kecuali...
Kecuali aku menggunakan sihir juga. 
Gadis miskin itu membuat gempar kota Imardin. Dia berhasil menembus perisai pertahanan para penyihir saat terjadi aksi Pembersihan Kota. Seorang penyihir terluka. Kekuatan sihir alamiah Sonea membuat Persekutuan Penyihir berang. 
Jika tidak segera ditemukan, efek sihir Sonea akan membahayakan seluruh kota. Para penyihir dari Persekutuan pun mengejarnya. Sonea terpaksa harus bersembunyi di lorong-lorong gelap bawah tanah dan meminta perlindungan dari Kaum Pencuri. 
Apakah Persekutuan Penyihir ingin menghukumnya karena telah merobohkan salah seorang anggota mereka? Atau, apakah mereka merasa gadis itu menggerogoti kekuasaan persekutuan penyihir?
Secara keseluruhan, konsep dunia di trilogi The Black Magician dirancang dengan matang. Menurut saya pribadi, novel ini bisa dianjurkan buat referensi kalau berniat menulis novel dengan setting yang mendalam.

Kisah The Magician’s Guild ini terjadi di Daratan Kyralia, tepatnya di Kota Imardin. Di kota itu, ada dua lapisan sosial yang menonjol. Strata sosial tinggi diwakili oleh orang-orang Persekutuan Penyihir, sedangkan strata sosial rendah adalah para penghuni pemukiman kumuh. Kedua strata ini hampir selalu bertentangan. Penyihir memandang masyarakat kumuh seperti ‘kuman,’ sedangkan masyarakat kumuh membenci para penyihir yang suka bertindak semena-mena. Konflik sehari-hari ini membentuk premis plot yang cukup menjanjikan.

Apakah pertikaian antara masyarakat kumuh dan penyihir akan semakin sengit? Atau ternyata ada intrik tersembunyi yang selama ini luput dari perhatian?

…tentunya hanya bisa diketahui kalau terus membaca ketiga buku The Black Magician Trilogy.

Masih terkait setting; di beberapa halaman pertama saya menemukan sebuah kosakata aneh: faren. Biar nggak bingung, faren itu adalah binatang berkaki delapan. Teringat sama laba-laba? Well, mungkin Canavan memang terinspirasi sama laba-laba? Terus kok nggak pake istilah laba-laba yang udah dikenal aja, sih? Ngeribetin diri sendiri aja. Dalam hal ini, saya sendiri terombang-ambing antara dua pilihan:

1. Harus memuji kreativitas Canavan dalam membuat istilah-istilah baru (berkesan lebih original dan lebih fantasi aja, gituh).

2. Atau pusing sendiri karena harus mengingat serangkaian istilah asing itu (yang jumlahnya tidak sedikit).

Canavan memang bagus dalam hal membuat setting yang kaya dan mendeskripsikan dunianya pada narasi. Tapi sayangnya Canavan kadang 'keasyikan' dalam membuat setting, sehingga ada beberapa deskripsi yang dimunculkan tidak pada tempatnya. Contohnya di halaman 190 dan 191 ini:
Lelaki besar itu tidak tertidur nyenyak—mungkin khawatir jika Kaum Pencuri mampir ke persembunyian mereka. Seperti bisa membaca pikiran Cery, Tullin tiba-tiba berjalan ke arah pintu belakang. Tubuh Cery menegang, siap untuk menyelinap pergi, tetapi Tullin tidak meraih pegangan pintu. Malahan, jari-jarinya mendekati sesuatu di udara dan menyusuri jejaknya ke atas, di luar jangkauan mata Cery. Tali, Cery menduga. Dia tidak perlu melihat apa yang tergantung di balik pintu untuk menebak bahwa Tullin memasang suatu jebakan bagi para tamu yang tak diundang. 
Merasa puas, Tullin bergerak ke tempat tidur kedua. Dia menarik sebilah pisau dari sabuknya dan meletakkannya di meja dekat tempat tidur, kemudian mematikan lampu. Setelah memandang berkeliling ruangan sekali lagi, dia meregangkan tubuh di atas tempat tidur.
Ini adegan Cery waktu mau menyusup ke sebuah toko. Suasana udah tegang aja di dua paragraf pertama. Tapi begitu masuk paragraf ketiga….
Cery memerhatikan pintu. Raka tiba di Imardin sebagai kacang-kacang berkulit, terbungkus di dalam daunnya sendiri. Kacang-kacang itu dikupas dari kulitnya oleh para pemilik toko dan dipanggang. Daun-daun dan kulit kacang itu biasanya dibuang ke dalam sebuah corong yang mengarah ke sebuah bak di luar, dan isi bak-bak tersebut dikumpulkan oleh anak-anak yang menjualnya kepada para petani di dekat kota.
Eaaa, apa ini tiba-tiba malah nyasar ke penjelasan kacang raka? Benar-benar, mood saya langsung rontok seketika. Tadinya saya sudah terbawa dengan perasaan tegang yang dialami Cery, tapi akibat penjelasan-sangat-tidak-penting si kacang raka ini, ya bubar jalan sudah :P

Dari segi POV, sudut pandang di The Magician’s Guild tidak hanya terfokus pada Sonea selaku pemeran utama saja. Kadang sudut pandang berpindah ke Cery, Rothen, atau Dannyl. Otomatis, karakter yang tergali dan berkembang bukan hanya Sonea saja. Tapi sayang, personaliti karakter-karakter di novel ini belum berhasil membuat saya jatuh hati. Saya cenderung menyukai karakter yang sifatnya agak eksentrik (tapi para karakter di novel ini semuanya biasa-biasa saja).

Untuk alur, terasa lambat di awal. Bayangkan, 300 halaman (atau separuh buku) dihabiskan buat mencari-cari si Sonea doang! Terdengar membosankan memang; tapi kalau dilihat dari segi kelogisan, hal itu bisa ditolerir. Alasannya:

1. Sonea dibantu Cery dan Harrin, pencuri yang notabene memang ahli kabur.

2. Sonea dititipkan ke Kaum Pencuri yang markasnya sangat tersembunyi.

3. Para penyihir nggak bisa bergerak leluasa di tempat kumuh karena suatu dan berbagai hal.

4. Kota Imardin nggak sempit.

Untungnya di paruh terakhir buku ada beberapa kejadian penting dan menarik. Sonea memergoki sang Ketua Tertinggi melakukan ‘hal mencurigakan’, Fergun yang memiliki rencana jahat pada Sonea dan Cery, pro-kontra mengenai keberadaan Sonea ‘si perempuan kumuh’ di Persekutuan, serta perebutan hak pembimbingan Sonea oleh Rothen dan Fergun.

Akhir kata, bagi saya belum ada hal yang benar-benar memikat hati di buku pertama ini. Yah, kecuali spekulasi kalau sang Ketua Tertinggi Persekutuan ternyata… (ups, hampir spoiler). Bagi saya pribadi, misteri yang meliputi sang Ketua Tertinggilah yang membuat saya tertarik membeli The Novice, sekuel dari The Magician’s Guild.

6/10

3 comments:

  1. Sama ya. Black magician series juga banyak pengaruh ke tulisanku. :-)

    ReplyDelete
  2. Btw udah baca sekuelnya belum, kris?
    Traitor spy.

    ReplyDelete
  3. Soalnya Black Magician termasuk novel fantasi perdana yg saya baca sih^^ (even sebelum ketemu Harry Potter). Ah, Traitor Spy blom baca :( High Lord pun belum (ketahuan deh *kabur*). Traitor Spy yg ceritanya anak Sonea?

    ReplyDelete